Top Ad 728x90

Minggu, 20 Maret 2016

,

IDENTIFIKASI MASALAH PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN

Identifikasi Masalah Penjaminan Mutu Pendidikan
Dalam konteks mutu dan penjaminan mutu, permasalahan-permasalahan yang masih dihadapi adalah seperti berikut ini:
1. Masalah yang terkait dengan makna penjaminan mutu:
o banyak terjadi kesalahpahaman di tingkat satuan pendidikan mengenai penjaminan mutu. Misalnya, sertifikat ISO yang diperoleh satuan pendidikan berbagai tingkatan dipandang sebagai legitimasi yang tinggi bahwa satuan pendidikan bersangkutan telah mendapat jaminan dan pengakuan internasional mengenai mutu pendidikan yang dimilikinya. Padahal ISO merupakan standar layanan, bukan lembaga penjaminan mutu pendidikan, terutama yang terkait dengan praktik akademik satuan pendidikan;
o delapan Standar Nasional Pendidikan (SNP) belum dipahami secara utuh dan belum mampu diterapkan dengan baik dan luas oleh setiap program dan/atau satuan pendidikan;
o visi, misi, dan program yang dirumuskan serta dimiliki oleh setiap satuan pendidikan seringkali bersifat abstrak dan kurang berkorelasi dengan kegiatan peningkatan dan penjaminan mutu program dan/atau satuan pendidikan.
2. Masalah yang terkait dengan regulasi:
o adanya berbagai peraturan pendidikan yang kurang progresif, konsisten dan terintegrasi sehingga relatif menyulitkan bagi pihak-pihak berkepentingan dalam pelaksanaan penjaminan mutu;
o belum adanya standar mutu internal, ‘key performance indicators’, dan sasaran mutu akademik dan non-akademik di setiap jenjang, jalur, dan jenis pendidikan yang siap memacu mutu pendidikan;
o belum adanya pengembangan sistem penilaian kinerja secara berjenjang, mulai dari kinerja institusi, unit, dan individu;
o BSNP belum menyiapkan penjabaran standar secara menyeluruh untuk semua jenis, jenjang, dan jalur pendidikan yang akan menjadi dasar penyelenggaraan penjaminan mutu.
3. Masalah yang terkait dengan penentuan dan implementasi kebijakan penjaminan mutu:
o peningkatan mutu pendidikan belum berjalan dengan baik dan terpadu terutama di tingkat satuan pendidikan;
o keberadaan satuan pendidikan bertaraf internasional belum jelas tolok ukurnya dan belum melalui assessment oleh badan akreditasi nasional/internasional;
o praktik program dan/atau satuan pendidikan dan/atau kelas internasional di Indonesia selama ini lebih bersandar pada rezim perizinan yang dikeluarkan oleh birokrasi pendidikan, bukan berdasarkan akreditasi. Di negara-negara maju, hal itu dilakukan berdasarkan hasil akreditasi oleh badan akreditasi independen dan profesional.

4. Masalah yang terkait dengan esensi data:
o data mutu pendidikan yang terjamin akurasi, kelengkapan, dan updating-nya belum dikelola dengan baik oleh program dan satuan pendidikan, unit kerja di lingkungan Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kota/Kabupaten, dan unit-unit utama di lingkungan Pemerintah;
o data mutu pendidikan belum dianalisis oleh pemangku kepentingan, walaupun seringkali digunakan untuk perumusan serta implementasi kebijakan, program, dan penganggaran pendidikan. Penggunaan data yang mentah sifatnya dan belum “bunyi” dalam pengambilan kebijakan berdampak pada rendahnya mutu serta tidak tepatnya kebijakan yang dirumuskan dan dilaksanakan saat ini.
o belum terbangunnya budaya proses pengambilan keputusan berdasarkan data. Di tingkat satuan pendidikan, pengambilan keputusan lebih berdasarkan keinginan, otoritas, dan apa yang menjadi bayangan pemimpin satuan pendidikan serta berdasarkan tuntutan dari birokrasi pendidikan (pusat dan daerah) dan tidak banyak mengacu pada realitas obyektif;
o hasil pemetaan mutu pendidikan belum dimanfaatkan secara optimal untuk penentuan kebijakan, penyusunan program dan alokasi anggaran pendidikan;
o monitoring dan evaluasi internal di setiap satuan pendidikan belum berjalan optimal sehingga menghasilkan data dasar untuk perbaikan mutu berkelanjutan.
sekolah model SNP


5. Masalah yang terkait dengan kejujuran/obyektivitas:
o Program dan/atau satuan pendidikan kurang jujur dalam mengevaluasi dirinya, sehingga peringkat mutu yang ada dan dipublikasikan selama ini belumlah sepenuhnya terpercaya;
o hasil akreditasi yang dilakukan oleh badan akreditasi terhadap satuan pendidikan, baik di tingkat program studi, jurusan maupun institusi, belum mencerminkan kenyataan yang sesungguhnya. Sikap kompromi dan pertimbangan-pertimbangan subyektif (tetapi merasa perlu ditempuh) masih turut berbicara dalam kegiatan akreditasi;
o kegiatan penjaminan mutu kurang ditopang aspek pembiayaan yang memadai, sehingga mengganggu tingkat kejujuran, obyektivitas, profesionalitas, dan kesungguhan kerja unit penjaminan mutu dan badan akreditasi.
6. Masalah yang terkait dengan kelembagaan:
o belum terlalu jelasnya pembagian peran dan fungsi antar lembaga terkait serta antara pemerintah pusat dan daerah dalam penyelenggaraan pendidikian;
o kapasitas pemerintah daerah masih sangat bervariasi dan belum terstandardisasi prosedur dan operasionalnya dalam menjalankan penjaminan mutu pendidikan;
o penjaminan mutu cenderung ditekankan pada tingkat program dan/atau satuan pendidikan semata, tetapi kurang menekankan peran pemerintah dan pemerintah daerah di dalamnya. Padahal program dan/atau satuan pendidikan, terutama swasta, masih membutukan fasilitasi dan peran pemerintah dalam proses penjaminan mutu;
o siklus penjaminan mutu (internal dan eksternal) masih terpisah dan belum berjalan secara sinergis untuk penjaminan dan peningkatan mutu berkelanjutan melalui RKS dan RKAS;
o sangat banyak – untuk tidak mengatakan semua – program dan/atau satuan pendidikan yang tidak memiliki sistem dan organisasi penjaminan mutu internal;
o belum melembaganya tim pengembang pada program dan/atau setiap satuan pendidikan. Kalaupun ada program dan/atau satuan pendidikan yang memiliki tim pengembang, pada umumnya masih pada tataran formalitas dan belum berfungsi sebagaimana diharapkan;
o fungsi pemetaan dan fasilitasi oleh lembaga pembinaan penjaminan mutu seperti LPMP belum terintegrasi dan berjalan efektif;
o lembaga akreditasi seperti BAN-S/M belum mampu berkoordinasi dalam mengakreditasi program dan satuan pendidikan secara menyeluruh dan berkelanjutan dan melakukan kolaborasi dalam menjamin pelayanan akses terhadap data mutu pendidikan kepada publik untuk penelitian dan pengembangan mutu pendidikan;
o lembaga evaluasi eksternal atau akreditasi selain BAN seperti ABET, ACCB, Cambridge Examination Syndicate dan lain-lain belum diatur secara baik dalam bentuk prosedur operasional standar dan dikembangkan untuk percepatan dan perluasan akreditasi mutu setiap satuan pendidikan;
o RSBI, SBI, dan kelas-kelas internasional belum memiliki standar keinternasionalannya (terakreditasi secara internasional) dan belum menegakkan akuntabilitasnya.
7. Masalah yang terkait dengan budaya mutu:
o budaya mutu belum tumbuh dan berkembang secara optimal dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan;
o kurangnya kesadaran (awereness) dan komitmen pemimpin satuan pendidikan dan penyelenggara pendidikan di daerah maupun pengelola pendidikan di pusat terhadap pentingnya penjaminan mutu.
8. Masalah yang terkait dengan layanan khusus:
o penjabaran standar untuk Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus (PKLK) belum diatur penjaminan mutunya;
o penjaminan mutu untuk pendidikan jarak jauh dalam berbagai bentuk misalnya berbasis modul dan e-learning belum berjalan secara efektif;
o penjaminan mutu untuk pendidikan keagamaan sesuai dengan PP No. 55/2007 belum berjalan secara efektif;
o penjaminan mutu pendidikan informal belum ditegaskan dalam peraturan perundang-undangan yang ada;
9. Masalah yang berkait dengan standar mandiri:
o belum dikembangkannya standar mandiri dalam sistem penjaminan mutu pendidikan. Standar mandiri sesungguhnya penting dikembangkan, mengingat selain ada program dan satuan pendidikan negeri juga terdapat program dan satuan pendidikan swasta, dan dalam praktik standar mandiri itu dikembangkan program dan satuan pendidikan tertentu;
o program dan satuan pendidikan kebanyakan belum mampu merumuskan dan menentukan standar mutu pendidikan (akademiknya) sendiri, sehingga proses pembelajaran berlangsung tanpa target yang pasti dan titik ukuran yang konsisten untuk memantau kemajuan yang sedang dilakukan sekarang dan akan dicapai secara berkelanjutan di masa mendatang.
10. Masalah yang berkait dengan akuntabilitas publik:
o penjaminan mutu yang ada dan berlangsung selama ini belum memasukkan dan mempertimbangkan akuntabilitas publik di dalamnya, sehingga masyarakat seperti kehilangan hak, kesempatan, proporsi, dan kurang terlindungi dalam penjaminan mutu pendidikan;
o program dan/atau satuan pendidikan kurang terbuka dalam menjelaskan dan memublikasikan hasil evaluasi dirinya;
o badan-badan akreditasi kurang terbuka dalam mengumumkan secara rinci ke publik mengenai proses, metode, ukuran, indikator, dan hasil akreditasi yang dilakukan.
11. Masalah yang terkait dengan keengganan melakukan penjaminan mutu:
o ada kecenderungan program dan/atau satuan pendidikan seperti tidak memiliki waktu untuk melakukan penjaminan mutu internal dan/atau evaluasi diri karena sudah terlalu disibukkan oleh rutinitas yang cukup padat. Mereka umumnya juga kurang memiliki motivasi dalam melakukan evaluasi diri;
o kegiatan penjaminan mutu seringkali dipandang sebagai beban yang memberatkan dan merepotkan program dan/atau satuan pendidikan dan belum menerapkan sanksi dan penghargaan terhadap kinerja setiap program dan/atau satuan pendidikan;
o kegiatan penjaminan mutu tidak jarang dilakukan karena merasa ada semacam ancaman internasional, termasuk semakin banyaknya peserta didik berbakat dari keluarga kaya yang lebih memilih belajar di luar negeri daripada di dalam negeri. Ada pula yang melakukannya hanya dalam rangka mendapatkan bantuan Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau lembaga internasional dalam
melaksanakan RSBI, SBI atau program dan satuan pendidikan berkeunggulan lokal lainnya
12. Masalah yang terkait dengan kepentingan dan pragmatisme elite:
o di daerah-daerah, program dan/atau satuan pendidikan – terutama di tingkat pendidikan dasar dan menengah – seringkali diintervensi oleh birokrasi pendidikan (Dinas Pendidikan), dan tak jarang pula pendidik dan tenaga kependidikan yang menjadi alat politik dari elite kekuasaan lokal; intervensi elite kekuasaan dan birokrasi dapat dan telah mengganggu konsentrasi program dan satuan pendidikan dalam mencapai dan memelihara pendidikan yang bermutu tertentu.

0 komentar:

Posting Komentar

Top Ad 728x90